Lensakata.co, PONTIANAK – Wakil Rektor II Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda, Prof. Dr. Zamroni, M.Pd, memaparkan gagasan Kurikulum Cinta sebagai pendekatan pendidikan yang mengutamakan pembentukan karakter dan moral. Gagasan ini ia sampaikan saat menjadi keynote speaker dalam Konferensi Antarbangsa Islam Borneo (KAIB) ke-XVI di Pontianak.
Dalam presentasinya, Prof. Zamroni menekankan bahwa paradigma pendidikan di Indonesia masih terlalu fokus pada pencapaian kognitif, sementara dimensi afektif dan moral sering kali terpinggirkan.
“Pendidikan berbasis cinta menjadi sangat relevan untuk membentuk generasi yang bukan hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki empati, toleransi, dan jiwa humanis,” ujarnya.
Ia menyoroti fenomena intoleransi, polarisasi sosial, hingga kekerasan antar pelajar sebagai gejala kesenjangan serius dalam dunia pendidikan. Menurutnya, Kurikulum Cinta dapat menjadi solusi untuk menjembatani ketimpangan antara kecerdasan intelektual dengan kecerdasan emosional dan spiritual.
“Konsep cinta tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Rasulullah SAW menjadikan kasih sayang sebagai fondasi interaksi sosial dan pendidikan. Prinsip ini harus menjadi nilai dasar dalam proses belajar-mengajar,” tegasnya.
Dalam konteks Borneo yang kaya keberagaman, Prof. Zamroni menilai penerapan Kurikulum Cinta memiliki urgensi lebih besar untuk memperkuat kohesi sosial.
“Anak-anak Borneo harus tumbuh sebagai generasi yang menghargai perbedaan, moderat, dan berkarakter. Keberagaman di tanah ini seharusnya menjadi modal, bukan sumber konflik,” tambahnya.
Prof. Zamroni merinci strategi implementasi Kurikulum Cinta, di antaranya:
- Integrasi nilai cinta ke dalam mata pelajaran PPKn, Pendidikan Agama, dan muatan lokal.
- Penguatan peran guru untuk menjadi teladan empati dan penghargaan terhadap keberagaman.
- Pelaksanaan program lintas komunitas, seperti pertukaran pelajar dan kegiatan seni budaya bersama.
- Kolaborasi antar lembaga pendidikan dan pemerintah daerah untuk mengarusutamakan nilai toleransi.
Ia menutup pemaparannya dengan pesan simbolis:
“Seperti Sungai Mahakam yang mengalir tanpa membedakan tepian, pendidikan di Borneo harus merangkul semua pihak dan menghidupkan harmoni,” pungkasnya.
KAIB ke-XVI Pontianak menjadi wadah strategis bagi akademisi dan praktisi pendidikan membahas solusi atas tantangan globalisasi dan disrupsi sosial. Gagasan Kurikulum Cinta yang diangkat Prof. Zamroni diharapkan menjadi rujukan pengembangan pendidikan berbasis nilai kemanusiaan di Indonesia, khususnya di kawasan Borneo.
(Redaksi)
![]()













