Lensakata.co, OPINI – Kita hidup di era di mana sibuk dianggap sebagai simbol produktivitas. Banyak orang bangga bisa menyelesaikan banyak hal sekaligus: mengetik laporan sambil mengecek WhatsApp, mengikuti rapat virtual sembari scroll Instagram, atau bahkan belajar sambil nonton YouTube. Tapi benarkah multitasking membuat kita lebih produktif? Atau justru perlahan merusak otak kita?
Otak Kita Bukan Komputer dengan RAM Tak Terbatas
Pernahkah ketika mengerjakan sesuatu, tiba-tiba membuka chat, membalas notifikasi, scroll media sosial sebentar, lalu kembali ke pekerjaan dan bingung, “Tadi ngapain ya?” Itu bukan multitasking, melainkan task-switching (lompat-lompat fokus). Setiap kali berpindah tugas, otak harus mengeluarkan energi ekstra untuk “shifting gear“, seperti mobil manual yang terus mengganti gigi.
Penelitian dari Stanford membuktikan bahwa orang yang sering multitasking justru lebih buruk performanya dibanding mereka yang fokus pada satu hal. Mereka lebih mudah terdistraksi, kesulitan menyaring informasi penting, dan membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikan tugas.
Ilusi Produktivitas dan Candu Dopamin Digital
Multitasking memberikan ilusi produktivitas. Hanya merasa puas setiap kali bisa mengecek notifikasi atau membalas pesan dengan cepat.
Padahal, itu hanya dorongan dopamin sesaat seperti kecanduan scroll media sosial. Hanya merasa sibuk, tapi sebenarnya hanya menggeser-geser pekerjaan tanpa menyelesaikannya dengan maksimal.
Akibatnya? Jadi lebih cepat lelah, sering lupa, dan merasa “lemot“. Bukan karena IQ turun, tapi karena working memory (memori kerja) otak terlalu penuh, seperti laptop dengan RAM 4GB yang dipaksa menjalankan 10 aplikasi sekaligus.
Multitasking Merusak Kedalaman Berpikir dan Hubungan Sosial
Bahaya lain dari kebiasaan multitasking adalah melemahnya kemampuan berpikir mendalam (deep work). Jadi sulit fokus lebih dari 10 menit, ide sering mentok, dan keputusan yang diambil kurang matang. Padahal, kreativitas dan solusi brilian lahir dari fokus yang dalam, bukan dari kerja serabutan.
Tak hanya itu, multitasking juga merusak hubungan sosial. Menikmati makanan sambil main HP, ngobrol sambil balas email, atau olahraga sambil scroll TikTok.
Akibatnya, tidak benar-benar “hadir” dalam momen tersebut. Hubungan jadi dangkal karena perhatian terus terbagi.
Monotasking dan Metode PomodoroO
Jika ingin kembali produktif dan menjaga kesehatan otak, kita harus berhenti mengglorifikasi multitasking. Mulailah dengan:
1. Meminimalisir gangguan: Matikan notifikasi yang tidak penting.
2. Fokus 25 menit: Gunakan teknik Pomodoro (25 menit kerja fokus, 5 menit istirahat).
3. Latih otak untuk monotasking: Selesaikan satu tugas dengan kualitas tinggi sebelum beralih ke hal lain.
Tidak perlu jadi superhero yang bisa mengerjakan segalanya sekaligus. Fokus dan kesadaran penuh jauh lebih powerful daripada sibuk tanpa arti. Mulai sekarang, sayangi otak, berhenti multitasking sebelum benar-benar merusaknya.
“Being busy is a form of laziness lazy thinking and indiscriminate action.”Tim Ferriss.
Opini Tersebut di atas bukan menjadi tanggung jawab Redaksi Lensakata.co
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis
Penulis : Dodo, Jurnalis Media Lokal
![]()











