BANNER-KOMINFO-KUKAR-FIX
SEKRETARIAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SAMARINDA
dprd
Opini  

Membaca Kembali Bung Karno untuk Masa Depan Kalimantan Timur

Foto : Aji Cahyono, Pemerhati Geopolitik Indonesia, Program Master Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga/ilustrasiAI/Lensakata.co

Lensakata.co, OPINI – Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur (Kaltim) pada 2024 mencapai sekitar 5,25 persen, melampaui rata-rata nasional. Angka itu tampak meyakinkan, tetapi tidak sepenuhnya menggambarkan kenyataan di lapangan. Struktur ekonomi Kaltim masih timpang, dengan lebih dari 47 persen PDRB bergantung pada sektor pertambangan. Sementara itu, Indeks Gini 0,33–0,35 menunjukkan ketimpangan yang terus menganga.

Di tengah laju pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang membawa harapan sekaligus kecemasan, ada kebutuhan mendesak untuk membaca kembali pemikiran Bung Karno bukan sebagai romantisme historis, melainkan pijakan analitis dalam merumuskan masa depan Kaltim.

Marhaenisme dan Wajah Baru Ketimpangan Kaltim

Max Lane pernah menggambarkan Sukarno sebagai “arsitek ideologis perlawanan rakyat.” Pandangan ini lahir dari temuan Bung Karno terhadap Marhaen petani kecil yang memiliki alat produksi namun tidak berdaya menentukan hidupnya sendiri.

Kondisi serupa kini terlihat di banyak wilayah Kaltim. Dari desa-desa sekitar konsesi tambang hingga kampung-kampung adat di Kutai, Berau, Paser, maupun Mahakam Ulu, masyarakat memiliki lahan, tetapi kehilangan kuasa atas ruang hidup. Ekspansi tambang, HTI, dan perkebunan sawit lebih dari 3 juta hektare menurut Auriga Nusantara menjadikan mereka “sub-marhaen” di tanah sendiri.
Marhaenisme ekologis menjadi relevan: rakyat memiliki tanah, tetapi tidak berdaulat.

Bung Karno mengingatkan bahwa negara wajib memastikan alat produksi tidak dikuasai segelintir elite. Untuk Kaltim, terutama setelah era batu bara, pembangunan harus menempatkan rakyat sebagai subjek transformasi ekonomi, bukan sekadar penonton.

Sosio-Nasionalisme: Kedaulatan Sumber Daya di Bumi Kalimantan

Dalam Indonesia Menggugat, Sukarno menegaskan bahwa nasionalisme adalah kesadaran atas kedaulatan politik dan ekonomi, bukan sekadar simbolisme. John D. Legge juga menilai bahwa nasionalisme Bung Karno merupakan upaya membebaskan bangsa dari dominasi kapital asing.

Kaltim menghadapi persoalan yang sama. Sejak lama, struktur ekonominya digerakkan oleh korporasi besar pertambangan, energi, hingga kayu. Pertanyaannya kini: Apakah Kaltim dan IKN akan menjadi pusat kedaulatan ekonomi nasional, atau hanya ruang investasi yang kembali dikuasai modal besar?

Sosio-Nasionalisme memberi dua tuntutan:

1. Kedaulatan atas energi, hutan, dan tanah.
2. Penguatan ekonomi lokal agar tidak tertelan arus modal IKN.

Tanpa itu, IKN hanya menjadi mercusuar negara, bukan rumah bagi rakyatnya.

Sosio-Demokrasi: Demokrasi yang Menghapus Ketimpangan

Herbert Feith menyebut Sukarno sebagai sosok yang percaya pada demokrasi partisipatoris demokrasi yang mengutamakan pemerataan dan pemberdayaan rakyat.

Kaltim hari ini memiliki IPM relatif tinggi (78,20), tetapi timpang antarwilayah: Balikpapan dan Samarinda membangun cepat, sementara pedalaman seperti Mahakam Ulu tertinggal jauh.

Sosio-Demokrasi mengajarkan bahwa demokrasi harus menghapus struktur yang membuat kesenjangan terus berlangsung. Untuk Kaltim, ini berarti:

• Warga lokal dilibatkan dalam tata kelola IKN.
• Masyarakat adat terlibat dalam perencanaan ruang.
• Perempuan di desa-desa tambang tidak terpinggirkan oleh urbanisasi megaproyek.

Demokrasi yang merakyat bukan elitis adalah prasyarat Kaltim yang berkeadilan.

Tri Sakti: Kompas untuk Kaltim Baru

Tri Sakti adalah kerangka paling relevan untuk membaca perubahan Kaltim:

1. Berdaulat dalam Politik

Kaltim kini menjadi pusat perhatian nasional. Namun, kedaulatan politik tidak sebatas lokasi ibu kota, melainkan kemampuan rakyat mengendalikan arah pembangunan, bukan sekadar menjadi objek transformasi.

2. Berdikari dalam Ekonomi

Sukarno selalu menolak ketergantungan ekonomi. Untuk Kaltim, berdikari berarti: transisi dari pertambangan menuju energi terbarukan, industrialisasi hilir berbasis sumber daya lokal, pembangunan UMKM desa, penguatan pertanian dan perikanan berbasis komunitas. Tanpa itu, Kaltim akan tetap terjebak dalam kutukan sumber daya.

3. Berkepribadian dalam Kebudayaan

IKN bisa menjadi ruang modernisasi identitas Nusantara. Namun hanya mungkin bila budaya Dayak, Kutai, Banjar, hingga Bugis menjadi tuan rumah, bukan ornamen dekoratif untuk branding kota. Kebudayaan adalah fondasi, bukan estetika semata.

Kaltim Pasca-Batubara: Jalan Panjang Menuju Keadilan Sosial

Sukarno berkali-kali menegaskan bahwa ekonomi ekstraktif tidak menciptakan kesejahteraan berkelanjutan. Kini, dengan transisi energi global, batu bara kehilangan relevansinya.

Bung Karno menawarkan tiga prinsip:

  1. Alat produksi harus dikuasai rakyat. Penerjemahannya: energi surya desa, koperasi digital, ekowisata rakyat, teknologi lokal.
  2. Industrialisasi harus merakyat. Bukan industrialisasi padat modal, tetapi berbasis pengetahuan dan komunitas.
  3. Keadilan sosial menjadi orientasi utama.Melalui reforma agraria, perhutanan sosial, kota inklusif, dan diversifikasi ekonomi yang melibatkan rakyat.

Bappenas memproyeksikan ketergantungan Kaltim terhadap batu bara turun menjadi 20 persen pada 2045. Namun angka tersebut hanya bermakna bila transformasi ini menguntungkan rakyat, bukan hanya investor.

Kalau tidak, kita hanya berpindah dari “kolonialisme ekonomi lama” ke “kolonialisme pembangunan”.

Membangun Kaltim Sebagai Laboratorium Marhaenisme Baru

Sukarno percaya bahwa perubahan besar lahir dari daerah. Kaltim hari ini memiliki kesempatan unik menjadi laboratorium gagasan Marhaenisme:

• membangun ekonomi koperasi di pangan, energi, dan pariwisata,
• menguatkan universitas riset di bidang lingkungan dan energi baru,
• menekan dominasi perusahaan tambang dalam kebijakan publik,
• menciptakan kota inklusif, bukan sekadar ruang investor,
• menjadikan budaya lokal sebagai pilar identitas IKN.

Modernitas Kaltim tidak harus meniru Barat ia bisa tumbuh dari akar budaya sendiri.

Menghidupkan Api Pemikiran Bung Karno

Membaca Bung Karno bukan lah soal menyanjung figur, tetapi menangkap api, bukan abu, dari pemikirannya. Pesan “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” adalah ajakan untuk membaca masa depan dengan kesadaran sejarah.

Kaltim berada di titik balik besar. Dan bila Bung Karno hidup hari ini, mungkin ia akan berkata:

Masa depan Kaltim tidak boleh dibangun oleh segelintir orang, tetapi oleh seluruh rakyat yang terangkat derajatnya di tanahnya sendiri.

(Redaksi)

Opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis. Tidak menjadi tanggung jawab Redaksi Lensakata.co

Penulis: Aji Cahyono, Pemerhati Geopolitik Indonesia, Program Master Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *