Lensakata.co, JAKARTA – Jakarta kembali dilanda krisis air bersih. Namun, persoalan ini bukan sekadar soal kekurangan pipa atau pompa, melainkan cerminan dari persoalan yang jauh lebih dalam yakni gagalnya sistem pengelolaan air yang adil dan berkelanjutan. Menurut Erbi Setiawan, peneliti doktoral di bidang tata kelola air perkotaan di Belanda dan pendiri Water Network Initiative, krisis ini adalah sinyal kuat bahwa pendekatan lama sudah tidak lagi relevan.
“Air bukan cuma urusan teknis soal bagaimana kota dirancang, bagaimana air didistribusikan secara adil, dan bagaimana gaya hidup masyarakat mempengaruhi keberlanjutan air,” kata Erbi melalui keterangan resmi, Selasa (3/6/2025).
Ia menilai solusi yang dihadirkan hanya fokus pada penambahan infrastruktur tetapi tidak akan menyelesaikan akar masalah. Menambal sistem yang sudah rapuh hanya akan menunda krisis berikutnya. Dibutuhkan sistem baru, yang mampu mengalirkan air, manfaat, dan keadilan secara menyeluruh.
Di tengah situasi darurat seperti sekarang ini, Jakarta justru membutuhkan pendekatan transdisipliner dalam mengelola air. Artinya, semua pihak, dari insinyur, pakar tata kota, ahli lingkungan, komunitas warga, hingga pengambil kebijakan, perlu duduk bersama sebagai mitra setara. Erbi mengatakan pengelolaan air tidak bisa lagi dibebankan pada satu institusi saja.
“Semua harus terlibat dalam perumusan kebijakan, bukan hanya pelaksana teknis,” ujarnya.
Masalah lain yang turut memperparah adalah lemahnya penegakan hukum. Sungai-sungai di Jakarta tercemar oleh limbah industri, dan diperparah dengan eksploitasi air tanah berlangsung masif tanpa pengawasan memadai.
“Masalahnya bukan pada ketiadaan regulasi, tapi keberanian untuk menegakkannya,” ujar Erbi.
Kondisi makin kompleks karena pertumbuhan penduduk di ibu kota tidak sebanding dengan kapasitas ekologisnya. Jika pertumbuhan kota terus berlangsung tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan, maka krisis air akan berlanjut ke masalah lain seperti sanitasi, energi, bahkan pangan.
Melalui Water Network Initiative, Erbi mendorong kebijakan air yang proaktif, kolaboratif, dan berkeadilan. Ia menekankan pentingnya sistem yang tangguh terhadap perubahan iklim, terbuka dalam tata kelola, dan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
“Pertanyaannya bukan siapa yang paling cepat membangun, tetapi siapa yang paling siap berubah,” pungkasnya. Masa depan air di Jakarta, menurut Erbi, sangat ditentukan oleh keberanian untuk bertransformasi, baik dalam cara berpikir, kebijakan, maupun tindakan nyata. tutupnya.
(Redaksi)
![]()













