Lensakata.co, OPINI – Bagi pembaca yang gemar dengan karya Studio Marvel satu ini, pasti tak asing dengan Fantastic Four. Sebuah grup super hero yang terdiri dari Mr. Fantastic (ReedRichard), The Invisible Woman (Sue Storm), The Human Torch (Jhonny Storm), dan The Thing (Ben Grimm).
Salah satu kisah yang memikat adalah Fantastic Four: The First Step, dirilis pada 23 Juli 2025, yang mengisahkan empat peneliti yang terpapar radiasi kosmik. Paparan itu memberi mereka kekuatan luar biasahingga mereka mampu menyelesaikan berbagai masalah besar, dan menjadi pelindung bumi.
Di antara kisah tersebut, ada bagian emosional tentang pasangan dalam tim yang akhirnya mengandung setelah lama menanti. Namun kebahagiaan itu dipatahkan ketika bumi kedatangan “Silver Surfer” yang membawa kabar mengerikan, bumi akan dihancurkan oleh Galactus sang pemangsa planet.
Dalam perundingan terakhir, Galactusmemberi dua pilihan, serahkan anak mereka atau hadapi kehancuran bumi. Sebuah dilema yang meremukkan hati, memilih anak yang telah lama dinanti atau keselamatan bumi.
Mungkin pembaca juga pernah melihat dilema serupa di media sosial: Apakah kamu akan mengorbankan satu orang yang kamu cintai demi menyelamatkan jutaan orang? Atau sebaliknya, mengorbankan jutaan orang demi satu orang yang kamu cintai?
Permasalahan semacam ini sejatinya telah lama dibicarakan oleh filsuf moral Philippa Foot dan kemudian dikembangkan oleh Judith Jarvis Thomson dalam kajiannya tentang Trolley Problem. Ibarat kita adalah masinis kereta yang melaju di rel bercabang: di cabang kanan ada satu orang terikat, di cabang kiri ada lima orang terikat. Pilihan yang ada hanyalah membunuh satu orang atau membunuh lima orang. Dalam keadaan kereta melaju terlalu cepat “Berhenti” tentu bukan suatupilihan bijak, karena bisa membunuh seluruh penumpang.
Dilema ini tidak hanya ada di film atau literatur filsafat, tapi juga hadir di dunia nyata. Salah satu contohnya adalah rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sungai Kayan, Tanjung Selor, Kab, Bulungan, Kalimantan Utara. PLTA ini berpotensi merelokasi warga desa dan mengancam kelangsungan budaya mereka dan mengorbankan setidaknya lima desa, antara lain Long Peleban, Muara Pangean, Long Yin, Long Lian, dan Long Buang.
Namun di sisi lain, PLTA tersebut menjanjikan pasokan listrik sebesar 9.000 MW, yang digadang mampu menerangi pulau Kalimantan, bahkan menyuplai listrik ke Malaysia. Pilihannya menjadi jelas tapi berat: mengorbankan satu komunitas demi kepentingan energi dua pulau besar, atau mempertahankan kehidupan komunitas itu dengan mengorbankan potensi kemajuan energi regional.
Pada dasarnya, Trolley Problem tidak menawarkan jawaban yang mutlak benar. Ia memaksa kita melihat ke dalam moral kita sendiri, apakah lebih condong pada prinsip mengutamakan manfaat terbesar untuk jumlah orang terbanyak atau menghargai hak dan martabat setiap individu, tak peduli jumlahnya.
Dalam kisahnya, Fantastic Four memilih untuk mencari jalan ketiga, yaitu bekerja sama dengan penduduk bumi, memanfaatkan kecerdasan dan teknologi, hingga berhasil mengusir Galactus tanpa harus mengorbankan anak mereka. Tapi di dunia nyata, “jalan ketiga” tak selalu ada, dan keputusan harus diambil dengan segala konsekuensinya.
Akhirnya, saya ingin melemparkan pertanyaan kepada pembaca yang budiman: jika Anda adalah sang masinis dalam Trolley Problem, apa yang akan Anda lakukan? Dan, yang lebih penting, beranikah Anda mempertanggungjawabkan pilihan itu?
Sumber :
The Fantastic Four: First Steps’ Cast and CharacterGuide — Meet the Heroes and Villains, lihat di https://www-thewrap-com.translate.goog/the-fantastic-four-first-steps-cast-character-guide/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc
Niken Sitoningrum, Masyarakat Adat dan Keanekaragaman Hayati Terancam Kalau Megaproyek PLTA Kayan Jalan, lihat pada https://mongabay.co.id/2024/10/09/masyarakat-adat-dan-keanekaragaman-hayati-terancam-kalau-megaproyek-plta-kayan-jalan/
Vincent Fabian Thomas, Bangun PLTA 9.000 MW di Kaltara, Indonesia Bisa Ekspor Listrikhttps://tirto.id/bangun-plta-9000-mw-di-kaltara-indonesia-bisa-ekspor-listrik-egKC
Philippa Foot. 1967. The Problem of Abortion and theDoctrine of the Double Effect Oxford Review, No. 5. Included in Foot, 1977/2002 Virtues and Vices and OtherEssays in Moral Philosophy.
Judith Jarvis Thomson, Killing, Letting Die, and theTrolley Problem,The Monist, Vol. 59, No. 2, Philosophical Problems of Death (APRIL, 1976), pp. 204-217, Oxford University Press, http://www.jstor.org/stable/27902416
Opini merupakan tanggungjawab penulis, tidak menjadi tanggungjawab Redaksi lenteraDjoang.com
Penulis : Ridwansyah (Mahasiswa Magister
Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman) Staff Kantor Hukum Sitompul Charles Marolop.
![]()











