Lensakata.co, TENGGARONG — Kebuntuan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) Tahun Anggaran 2026 memasuki babak krusial. Hingga awal November 2025, belum ada kesepakatan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan tersendatnya roda pemerintahan dan pelayanan publik di daerah penghasil migas terbesar di Kaltim tersebut.
Akademisi Fisipol Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta), Martain, S.Sos., M.A., menilai situasi ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Menurutnya, jika hingga akhir November belum tercapai kesepakatan bersama, Bupati Kukar memiliki legitimasi penuh untuk menetapkan APBD 2026 melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada).
“Langkah itu bukan bentuk perlawanan terhadap DPRD, tetapi jalan konstitusional yang dijamin undang-undang untuk menyelamatkan jalannya pemerintahan,” ujar Martain kepada awak media, Jumat (1/11/2025).
Martain merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam Pasal 107, jelas disebutkan bahwa apabila pembahasan RAPBD tidak mencapai kesepakatan dalam waktu 60 hari setelah diserahkan, kepala daerah berwenang menetapkannya melalui Perkada.
“Bupati tidak melanggar hukum bila mengambil langkah itu. Justru itu bentuk tanggung jawab eksekutif untuk memastikan hak-hak publik, seperti gaji ASN, layanan pendidikan, dan kesehatan tetap berjalan,” tegasnya.
Ia menambahkan, Perkada APBD hanya mencakup belanja yang bersifat mengikat dan wajib, yakni pos-pos yang menyangkut pelayanan dasar masyarakat.
Belanja yang bersifat politis seperti tunjangan DPRD, tunjangan komunikasi intensif, transportasi anggota dewan, hingga Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP), menurutnya, tidak wajib dianggarkan.
“Jadi kalau Bupati menahan pos-pos itu, itu sepenuhnya sah. Diskresi fiskal berada di tangan kepala daerah, sejauh untuk menjaga keberlangsungan layanan publik,” terang Martain.
Lebih jauh, ia mengingatkan DPRD agar tidak menjadikan APBD sebagai alat tawar-menawar politik.
Keterlambatan pembahasan anggaran, kata dia, justru memperlihatkan wajah politik yang abai terhadap kepentingan rakyat.
“Jangan jadikan APBD sebagai panggung kekuasaan. Ketika anggaran macet, yang menderita bukan politisi, tapi rakyat kecil yang menunggu layanan dasar,” sindir Martain.
Ia menegaskan, penerbitan Perkada bukan bentuk konfrontasi antara eksekutif dan legislatif, melainkan mekanisme penyelamatan pemerintahan daerah agar tidak lumpuh.
“Perkada adalah opsi terakhir, tapi tetap konstitusional. DPRD masih punya fungsi pengawasan. Jadi, tidak ada yang dilangkahi, hanya saja pemerintahan tidak boleh berhenti karena perdebatan politik,” pungkasnya.
(Redaksi)
![]()













