OPINI, Lensakata.co – Kabar kenaikan anggaran gaji dan tunjangan DPRD Kalimantan Timur pada APBD 2025 menjadi Rp52,2 miliar (Peraturan Gubernur Kaltim Nomor 19 Tahun 2025) naik sekitarRp2 miliar dibanding tahun sebelumnya menimbulkan tandatanya publik. Besaran yang fantastis ini wajar menjadi sorotan karena DPRD adalah lembaga legislatif daerah yang dibayar dariuang rakyat. Sebagai mahasiswa Ilmu Pemerintahan, penting membahas tentang anggaran gaji dan tunjangan DPRD Kaltim tahun 2025.
Kenaikan ini mungkin secara aturan sah, tetapipertanyaannya: apakah sudah selaras dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik yaitu good governance? Dari perspektif good governance, kasus ini menguji setidaknya tiga prinsip dasar.
Prinsip transparansi seharusnyamenjadi pondasi pada anggaran publik, apalagi untuk lembaga perwakilan rakyat, wajib dibuka seluas-luasnya agar masyarakat tahu bagaimana uang pajak mereka dibelanjakan. Sayangnya, di media kita justru membaca pernyataan Ketua DPRD yang menganggap pertanyaan soal tunjangan “tidak etis”. Sikap ini menurut saya kontraproduktif. Di era keterbukaan informasi, pejabat publik semestinya menganggap pertanyaan warga sebagai bentuk partisipasi bukan ancaman.
Aspek akuntabilitas juga patut dipertanyakan. Kenaikan anggaran besar ini seharusnya dibarengi dengan laporan kinerja legislatif yang jelas dan terukur: berapa perda yang sudah disahkan, seberapa kuat fungsi pengawasan dijalankan, dan sejauh mana aspirasi masyarakat diakomodasi. Selain itu DPRD seharusnya mempertanggungjawabkan setiap rupiah yang mereka terima, apalagi jika ada praktik pemotongan internal fraksi hingga 20 persen yang mengindikasikan mekanisme distribusi tunjangan yang belum jelas. Tanpa indikator kinerja yang transparan, kenaikan tunjangan justru akan memperlebar jurang ketidak percayaan antara DPRD dan masyarakat.
Dari sisi partisipasi, publik hampir tidak dilibatkan dalam pembahasan besaran tunjangan ini. Padahal, sebagai lembaga representatif DPRD mestinya membuka ruang dialog tentang remunerasi mereka sendiri. Penetapan anggaran remunerasi seharusnya dapat dikawal bersama melalui mekanisme musyawarah, uji publik, atau setidaknya laporan resmi yang mudah diakses. Kalau prosesnya tertutup, sulit bagi warga untuk menilai kewajaran angka tersebut.
Sebagai mahasiswa, saya juga belajar bahwa pemerintahan yang baik bukan hanya soal mematuhi peraturan, tetapi juga soaletika publik. Menyebut pertanyaan masyarakat sebagai “tidaketis” justru menyingkap adanya budaya birokrasi yang belum sepenuhnya siap dengan tuntutan keterbukaan. Etika pemerintahan seharusnya mendorong para pejabat untuk proaktif menjelaskan, bukan defensif.
Kenaikan anggaran sebesar Rp2 miliar mungkin secara normatif sah, tetapi apakah proporsional dengan kinerja DPRD? Apakah sudah ada tolok ukur yang jelas agar kenaikan tunjangan diiringi peningkatan kualitas legislasi, pengawasan, dan penyerapan aspirasi rakyat? Ini pertanyaan yang perlu dijawab oleh para anggota dewan, bukan dihindari.
Kita tidak menolak remunerasi yang layak bagi wakil rakyat. Tetapi, prinsip good governance mengajarkan bahwa transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik harus berjalan beriringan. Kalau tidak, legitimasi lembaga perwakilan akan tergerus.
Kasus DPRD Kaltim ini menjadi cermin penting bagi tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia. Transparansi dan akuntabilitas bukan hanya jargon, ia harus diwujudkan melalui keterbukaan data, pelaporan yang jelas, dan kesediaan pejabat publik untuk dikritisi. Tanpa itu semua, kepercayaan publik akan terus terkikis, dan lembaga perwakilan rakyat kehilangan makna substantif nya sebagai wakil rakyat. (Red)
Opini merupakan tanggungjawab penulis, tidak menjadi tanggungjawab Redaksi Lensakata.co
Penulis : Rossa Tri Rahmawati Bahri Ilmu Pemerintahan, FISIP UNMUL Sekaligus Kader GMNI Komisariat Fisipol Unmul.
![]()











