Lensakata.co, Nasional — Perusahaan tambang PT. Gag Nikel dan PT. Kawe Sejahtera Mining yang beroperasi di wilayah konservasi laut dunia Raja Ampat. Belum usai, kini muncul satu ancaman baru PT. Mulya Ramond Perkasa yang disebut-sebut akan beroperasi menambang di pulau manyaitun Batang Pele pada 2025 yang dapat terus memicu kegelisahan masyarakat setempat.
Lokasi Pulau tersebut sangat dekat dengan Piaynemo, yaitu ikon Raja Ampat yang diabadikan dalam uang pecahan Rp100.000. Eksploitasi yang direncanakan itu menuai penolakan keras dari masyarakat, terutama kalangan pemuda dan mahasiswa dan salah satunya datang dari GMNI Sorong.
“Saya menantang secara terbuka Menteri ESDM dan Kepala BKPM, Saudara Bahlil Lahadalia, untuk mencabut IUP PT Mulya Raymond Perkasa,” tegas Angky Dimara, Ketua DPC GMNI Kota Sorong, dalam pernyataan sikapnya, Kamis (6/6/2025).
Angky mengungkapkan, Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Mulya Raymond Perkasa telah diterbitkan sejak 2013, namun baru akan diaktifkan tahun ini.
Ia menegaskan proses tersebut tidak transparan dan tanpa pelibatan publik, apalagi masyarakat adat setempat.
“Kami mempertanyakan kenapa izin ini disimpan selama lebih dari satu dekade, lalu tiba-tiba diaktifkan? Ini sungguh mencurigakan dan berbahaya,” tegasnya.
Ia menilai tambang di Raja Ampat bukan hanya mengancam ekosistem, tetapi juga martabat masyarakat adat.
“Ini bukan sekadar soal investasi. Ini soal kehidupan kami sebagai orang Papua. Surga kecil ini jangan dijadikan neraka ekologis hanya karena kerakusan investor,” lanjutnya.
Dua Perusahaan tambang yang Sudah Beroperasi Saat ini, di Raja Ampat.
PT Gag Nikel, memulai operasi sejak 2018 di Pulau Gag, Distrik Waigeo Barat Kepulauan. PT Kawe Sejahtera Mining, beroperasi sejak 2023 di Pulau Kawe, Distrik Waigeo Barat Daratan.
Aktivitas kedua perusahaan tersebut menurut GMNI telah berdampak pada lingkungan terlebih mengurangi akses masyarakat terhadap ruang hidup.
“Tambang selalu datang dengan janji, tapi yang tertinggal justru konflik, limbah, dan kerusakan alam. Kita tidak boleh mengulang kesalahan yang sama di Manyaifun,” kata Angky.
GMNI Sorong juga dengan tegas menolak rencana perubahan status hutan lindung di Manyaifun menjadi hutan produksi atau penggunaan terbatas.
Menurut Angky, hal ini hanya akan memuluskan jalan bagi perusahaan tambang.
“Kami meminta Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Pemprov Papua Barat Daya agar tidak menjadi bagian dari penghancuran tanah adat sendiri. Jangan turunkan status hutan demi investor,” ujarnya.
Angky menyerukan perlawanan moral dan sosial dari semua pihak mulai dari masyarakat adat, tokoh agama, pemuda, perempuan, hingga media massa.
“Raja Ampat bukan ladang tambang. Ini rumah kami. Ini warisan kemanusiaan. Dan warisan itu harus kita jaga, bukan kita jual,” pungkasnya.
(Redaksi)
![]()













